Rabu, 04 Juni 2008

Pendekatan Open Ended

MENUMBUHKEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
DAN REPRESENTASI MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN OPEN ENDED
Syarifah Fadillah
STKIP PGRI Pontianak

A. Pemecahan Masalah Matematika
Dalam belajar matematika pada dasarnya seseorang tidak terlepas dari masalah karena berhasil atau tidaknya seseorang dalam matematika ditandai adanya kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Bell (1978: 157) menyatakan bahwa pertanyaan merupakan masalah bagi seseorang bila ia menyadari keberadaaan situasi itu, mengakui bahwa situasi itu memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat menemukan pemecahan atau penyelesaian situasi tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut Hudoyo (1988: 172) menyatakan bahwa di dalam matematika suatu soal atau pertanyaan akan merupakan masalah apabila tidak terdapat aturan atau hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban tersebut. Dari kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi siswa jika ia tidak dapat dengan segera menjawab pertanyaan tersebut atau dengan kata lain siswa tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan prosedur rutin yang telah diketahuinya.
Sebuah pertanyaan dapat merupakan masalah bagi seseorang akan tetapi belum tentu menjadi masalah untuk orang lain, demikian pula sebuah pertanyaan tidak selamanya menjadi masalah bagi seseorang, artinya pertanyaan ini mungkin saja menjadi masalah pada waktu tertentu, tetapi bukan masalah pada waktu yang lain. Artinya masalah bersifat subyektif bergantung pada waktu dan kemampuan seseorang. Sebagai contoh seorang siswa SMP menemukan kesulitan saat ia disuruh menghitung tinggi sebuah segitiga, jika diketahui panjang alas dan sudut alasnya. Namun setelah ia mempelajari perbandingan fungsi trigonometri, ia dapat secara langsung menghitungnya sehingga pertanyaan tersebut bukan lagi menjadi masalah baginya.
NCTM menetapkan memecahkan masalah sebagai suatu tujuan dan pendekatan. Memecahkan masalah bermakna menjawab suatu pertanyaan dimana metode untuk mencari solusi dari pertanyaan tersebut tidak dikenal terlebih dahulu. Untuk menemukan suatu solusi, siswa harus menggunakan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya dan melalui proses dimana mereka akan mengembangkan pemahaman - pemahaman matematika baru. Memecahkan masalah bukanlah hanya suatu tujuan dari belajar matematika tetapi juga memiliki suatu makna yang lebih utama dari mengerjakannya (NCTM, 2000: 52).
Branca (1980) menegaskan bahwa terdapat tiga interpretasi umum mengenai pemecahan masalah yaitu (1) pemecahan masalah sebagai tujuan (goal) yang menekankan pada aspek mengapa matematika diajarkan. Hal ini berarti bahwa pemecahan masalah bebas dari materi khusus. Sasaran utama yang ingin dicapai adalah bagaimana memecahkan suatu masalah matematika, (2) pemecahan masalah sebagai proses (process) diartikan sebagai kegiatan yang aktif. Dalam hal ini penekanan utamanya terletak pada metode, strategi atau prosedur yang digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah sehingga menemukan jawaban dan (3) pemecahan masalah sebagai keterampilan (basic skill) yang menyangkut dua hal yaitu: (a) keterampilan umum yang harus dimiliki siswa untuk keperluan evaluasi, dan (b) keterampilan minimum yang diperlukan siswa agar dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara Baroody (1993) menggolongkan tiga interpretasi pemecahan masalah yaitu pemecahan masalah sebagai pendekatan (approach), tujuan (goal), dan proses (process) pembelajaran. Pemecahan masalah sebagai pendekatan maksudnya pembelajaran diawali dengan masalah, selanjutnya siswa diberi kesempatan untuk menemukan dan merekonstruksi konsep-konsep matematika. Pemecahan masalah sebagai tujuan berkaitan dengan pertanyaan mengapa matematika diajarkan dan apa tujuan pengajaran matematika. Pemecahan masalah sebagai proses adalah suatu kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya prosedur langkah-langkah, strategi atau cara yang dilakukan siswa untuk menyelesaikan masalah sehingga menemukan jawaban.
Sumarmo (2005: 6-7) mengemukakan pemecahan masalah dapat dipandang dari dua sudut pandang yang berbeda yaitu sebagai pendekatan pembelajaran dan sebagai tujuan pembelajaran. Sebagai pendekatan pembelajaran artinya pemecahan masalah digunakan untuk menemukan dan memahami materi matematika. Sebagai tujuan, dalam arti pemecahan masalah ditujukan agar siswa dapat merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dan matematika, menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematika, menjelaskan hasil yang diperoleh sesuai dengan permasalahan asal, mampu menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata, dan dapat menggunakan matematika secara bermakna.
Memperhatikan beberapa pendapat tentang pemecahan masalah matematika, maka pemecahan masalah tidak hanya berfungsi sebagai pendekatan tetapi sebagai tujuan. NCTM (1989 & 2000) menempatkan kemampuan pemecahan masalah sebagai tujuan utama dari pendidikan matematika. NCTM mengusulkan bahwa memecahkan masalah harus menjadi fokus dari matematika sekolah dan bahwa matematika harus diorganisir di sekitar pemecahan masalah, sebagai suatu metode dari penemuan dan aplikasi, menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk menyelidiki dan memahami konten matematika (NCTM 1989: 76), dan membangun pengetahuan matematika baru melalui pemecahan masalah (NCTM, 2000 : 51).
Menurut Polya (1985), untuk memecahkan suatu masalah ada empat langkah yang dapat dilakukan, yakni:
1. Memahami masalah, yaitu menentukan (mengidentifikasi) apa (data) yang diketahui, apa yang ditanyakan (tidak diketahui), syarat‐syarat apa yang diperlukan, apa syarat‐syarat bisa dipenuhi, memeriksa apakah syarat‐syarat yang diketahui mencukupi untuk mencari yang tidak diketahui, dan menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).
2. Merencanakan pemecahannya, yaitu memeriksa apakah sudah pernah melihat sebelumnya atau melihat masalah yang sama dalam bentuk berbeda, memeriksa apakah sudah mengetahui soal lain yang terkait, mengaitkan dengan teorema yang mungkin berguna, memperhatikan yang tidak diketahui dari soal dan mencoba memikirkan soal yang sudah dikenal yang mempunyai unsur yang tidak diketahui yang sama.
3. Melaksanakan rencana, yaitu melaksanakan rencana penyelesaian, mengecek kebenaran setiap langkah dan membuktikan bahwa langkah benar.
4. Melihat kembali, yaitu meneliti kembali hasil yang telah dicapai, mengecek hasilnya, mengecek argumennya, mencari hasil itu dengan cara lain, dan menggunakan hasil atau metode yang ditemukan untuk menyelesaikan masalah lain.
Cars, Perry, dan Conroy (dalam Sutawidjaja, 1998) menawarkan strategi bagi siswa dan guru dalam konteks pemecahan masalah. Strategi untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah yang berkaitan dengan siswa adalah sebagai berikut.
1. Siswa harus diberanikan untuk menerima ketidaktahuan dan merasa senang mencari tahu.
2. Setiap siswa dan kelompok siswa harus diberanikan untuk membuat soal atau pertanyaan.
3. Kadang‐kadang siswa diperbolehkan memilih masalah dari sejumlah masalah yang diberikan untuk membuat soal atau pertanyaan.
4. Kadang‐kadang siswa diperbolehkan memilih masalah dari sejumlah masalah yang diberikan, dan
5. Siswa harus diberanikan untuk mengambil risiko dan mencari alternatif.
Sedangkan strategi untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah yang berkaitan dengan guru adalah sebagai berikut.
1. Guru harus menyadari akan sikap positif dan cara‐cara yang dapat mengembangkannya.
2. Guru harus berani mencari dan mengembangkan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah.
3. Guru harus mencari masalah yang menarik yang sering muncul secara spontan,
4. Situasi dan materi yang menarik harus disediakan bagi siswa.
5. Guru perlu memperluas situasi belajar dengan bertanya untuk menggalakkan jawaban dan penyajian anak,
NCTM sangat menyarankan memasukkan pemecahan masalah dalam matematika sekolah. Ada banyak pertimbangan untuk melakukan hal ini, pertama, pemecahan masalah adalah suatu bagian terbesar dari matematika. Pemecahan masalah merupakan unsur pokok dari disiplin matematika dan mengurangi disiplin itu hanya dengan satu set latihan-latihan dan ketrampilan-ketrampilan tanpa pemecahan masalah adalah salah dalam menggambarkan matematika sebagai suatu disiplin. Kedua, matematika mempunyai banyak aplikasi dan seringkali aplikasi-aplikasi tersebut merupakan masalah penting dalam matematika. Subjek matematika adalah digunakan dalam pekerjaan, pemahaman, dan komunikasi dalam disiplin-disiplin yang lain. Ketiga, terdapat satu motivasi intrinsik yang melekat dalam pemecahan masalah matematika, memasukkan pemecahan masalah matematika di sekolah dapat merangsang minat dan antusias dari para siswa. Keempat, pemecahan masalah dapat merupakan aktivitas menyenangkan. Akhirnya, pemecahan masalah harus terdapat di dalam kurikulum matematika sekolah agar dapat membiarkan siswa untuk mengembangkan seni tentang pemecahan masalah. Seni tersebut sangat penting untuk memahami matematika dan menilai matematika mengapa matematika harus masuk dalam tujuan pembelajaran (Wilson, Fernandez & Hadaway, 1993)
Suherman, dkk (2003: 89) mengemukakan bahwa melalui kegiatan pemecahan masalah, aspek-aspek kemampuan penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika, dan lain-lain dapat dikembangkan secara lebih baik. Dari kedua pendapat tersebut menunjukkan pemecahan masalah merupakan bagian penting dari pembelajaran matematika sehingga pemecahan masalah harus terdapat dalam kurikulum matematika sekolah.

B. Kemampuan Representasi
Kemampuan representasi sangat berhubungan dengan pemecahan masalah. Montague (2007) mengatakan bahwa pada dasarnya pemecahan masalah mempunyai dua langkah, yaitu representasi masalah dan menyelesaikan masalah. Pemecahan masalah yang sukses tidak mungkin tanpa representasi masalah yang sesuai. Representasi masalah yang sesuai adalah dasar untuk memahami masalah dan membuat suatu rencana untuk memecahkan masalah. Siswa yang mempunyai kesulitan dalam merepresentasikan masalah matematika akan memiliki kesulitan dalam melakukan pemecahan masalah. Dengan demikian seiring dengan pentingnya kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika, maka kemampuan representasi matematik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pemecahan masalah juga berperan dalam pembelajaran matematika .

1. Definisi Representasi
Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli berkenaan tentang representasi. Jones & Knuth (1991) mengemukakan representasi adalah model atau bentuk pengganti dari suatu situasi masalah atau aspek dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi. Dalam psikologi umum, representasi berarti proses membuat model konkret dalam dunia nyata ke dalam konsep abstrak atau simbol. Dalam psikologi matematika, representasi bermakna deskripsi hubungan antara objek dengan simbol (Hwang, et al., 2007).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Parmentier (dalam Ludlow, 2001:39) mendefinisikan representasi sebagai aktivitas atau hubungan dimana satu hal mewakili hal lain sampai pada suatu level tertentu, untuk tujuan tertentu, dan yang kedua oleh subjek atau interpretasi pikiran. Representasi menggantikan atau mengenai penggantian suatu obyek, penginterpretasian pikiran tentang pengetahuan yang diperoleh dari suatu obyek, yang diperoleh dari pengalaman tentang tanda representasi
Representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan-gagasan atau ide-ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upayanya untuk mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya (NCTM, 2000: 67). Cai, Lane, & Jacabcsin (1996: 243) memandang representasi sebagai yang digunakan seseorang untuk mengkomunikasikan jawaban atau gagasan matematik yang bersangkutan.
Sedangkan makna yang agak berbeda dikemukan oleh Pape & Tchoshanov (dalam Luitel, 2001) yang menyatakan bahwa terdapat empat gagasan yang digunakan dalam memahami konsep representasi. Pertama, representasi dapat dipandang sebagai abstraksi internal dari ide-ide matematika atau skemata kognitif yang dibangun oleh siswa melalui pengalaman; kedua, sebagai reproduksi mental dari keadaan mental yang sebelumnya; ketiga, sebagai sajian secara struktur melalui gambar, simbol ataupun lambang; dan yang terakhir, sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa representasi adalah ungkapan-ungkapan dari ide matematika yang ditampilkan siswa sebagai model atau bentuk pengganti dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari interpretasi pikirannya. Suatu masalah dapat direpresentasikan melalui gambar, kata-kata (verbal), tabel, benda konkrit, atau simbol matematika. Jenis-jenis representasi akan dibicarakan lebih lanjut di bagian lain dari tulisan ini.
Vergnaud (dalam Goldin, 2002: 207) menyatakan representasi merupakan unsur yang penting dalam teori belajar mengajar matematika, tidak hanya karena pemakaian sistem simbol yang juga penting dalam matematik dan kaya akan kalimat dan kata, beragam dan universal, tetapi juga untuk dua alasan penting yakni: (1) matematika mempunyai peranan penting dalam mengkonseptualisasi dunia nyata; (2) matematika membuat homomorphis yang luas yang merupakan penurunan dari struktur hal-hal lain yang pokok.
Penjelasan kedua alasan di atas yakni matematika merupakan hal yang abstrak, maka untuk mempermudah dan memperjelas dalam penyelesaian masalah matematika, representasi sangat berperan, yaitu untuk mengubah ide abstrak menjadi konsep yang nyata, misalkan dengan gambar, simbol, kata-kata, grafik dan lain-lain. Selain itu matematika memberikan gambaran yang luas dalam hal analogi konsep dari berbagai topik yang ada. Dengan demikian diharapkan bahwa bilamana siswa memiliki akses ke representasi-representasi dan gagasan-gagasan yang mereka tampilkan mereka, maka mereka memiliki sekumpulan alat yang secara signifikan siap memperluas kapasitas mereka dalam berpikir secara matematis (NCTM, 2000).

2. Jenis-Jenis Representasi
Hiebert dan Carpenter (dalam Hudojo, 2002) mengemukakan bahwa pada dasarnya representasi dapat dinyatakan sebagai internal dan eksternal. Berpikir tentang ide matematika yang kemudian dikomunikasikan memerlukan representasi eksternal yang wujudnya antara lain: verbal, gambar dan benda konkrit. Berpikir tentang ide matematika yang memungkinkan pikiran seseorang bekerja atas dasar ide tersebut merupakan representasi internal. Sejalan dengan pendapat tersebut, Goldin (2002: 208) mengatakan bahwa representasi eksternal adalah hasil perwujudan untuk menggambarkan apa-apa yang dikerjakan seseorang secara internal atau dalam representasi internalnya.
Representasi internal dari seseorang sulit untuk diamati secara langsung karena merupakan aktivitas mental dari seseorang dalam pikirannya (minds-on). Tetapi representasi internal seseorang itu dapat disimpulkan atau diduga berdasarkan representasi eksternalnya dalam berbagai kondisi; misalnya dari pengungkapannya melalui kata-kata (lisan), melalui tulisan berupa simbol, gambar, grafik, tabel ataupun melalui alat peraga (hands-on). Dengan kata lain terjadi hubungan timbal balik antara representasi internal dan eksternal dari seseorang ketika berhadapan dengan sesuatu masalah.
Schnotz (dalam Gagatsis, 2004) membagi representasi eksternal dalam dua kelas yang berbeda yaitu representasi descriptive dan depictive. Representasi descriptive terdiri atas simbol yang mempunyai struktur sembarang dan dihubungkan dengan isi yang dinyatakan secara sederhana dengan makna dari suatu konvensi, yakni teks, sedangkan representasi depictive termasuk tanda-tanda ikonic yang dihubungkan dengan isi yang dinyatakan melalui fitur struktural yang umum secara konkret atau pada tingkat yang lebih abstrak, yaitu, display visual.
Lebih lanjut Gagatsis dan Elia (2004) mengatakan bahwa untuk siswa kelas 1, 2 dan 3 sekolah dasar, representasi dapat digolongkan menjadi empat tipe representasi, yaitu representasi verbal (representasi descriptive), gambar informational, gambar decorative, dan garis bilangan (representasi depictive).
Cai, Lane, dan Jacabcsin (1996: 243) menyatakan bahwa ragam representasi yang sering digunakan dalam mengkomunikasikan matematika antara lain: tabel, gambar, grafik, pernyataan matematika, teks tertulis, ataupun kombinasi semuanya. Sementara Steffe, Weigel, Schultz, Waters, Joijner, Reijs (Hudoyo, 2002: 47) menggolongkan representasi menjadi: verbal, gambar, benda konkret, tabel, model-model manipulatif atau kombinasi dari semuanya.
Shield & Galbraith (dalam Neria & Amit, 2004) menyatakan bahwa siswa dapat mengkomunikasikan penjelasan-penjelasan mereka tentang strategi matematika atau solusi dalam bermacam cara, yaitu secara simbolis (numerik dan/atau simbol aljabar), secara verbal, dalam diagram, grafik, atau dengan tabel data.
Lesh, Post dan Behr (dalam Hwang, et. al., 2007) membagi representasi yang digunakan dalam pendidikan matematika dalam lima jenis, meliputi representasi objek dunia nyata, representasi konkret, representasi simbol aritmetika, representasi bahasa lisan atau verbal dan representasi gambar atau grafik. Di antara kelima representasi tersebut, tiga yang terakhir lebih abstrak dan merupakan tingkat representasi yang lebih tinggi dalam memecahkan masalah matematika. Kemampuan representasi bahasa atau verbal adalah kemampuan menerjemahkan sifat-sifat yang diselidiki dan hubungannya dalam masalah matematika ke dalam representasi verbal atau bahasa. Kemampuan representasi gambar atau grafik adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematik ke dalam gambar atau grafik. Sedangkan kemampuan representasi simbol aritmatika adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematika ke dalam representasi rumus aritmatika.

C. Pendekatan Open Ended dalam Pembelajaran Matematika

Pengertian Pendekatan Open Ended
Pendekatan open ended dikembangkan di negara Jepang sejak tahun 1970an. Menurut Shimada (1997: 1) pendekatan open ended berawal dari pandangan bagaimana mengevaluasi kemampuan siswa secara objektif dalam berpikir matematika tingkat tinggi. Sementara itu Nohda (1999) mengatakan bahwa tujuan dikembangkan pengajaran dengan pendekatan open ended adalah untuk membantu mengembangan aktivitas yang kreatif dari para siswa dan kemampuan berpikir matematis mereka dalam memecahkan masalah. Selain itu dengan pendekatan ini diharapkan masing-masing siswa memiliki kebebasan dalam memecahkan masalah menurut kemampuan dan minatnya, siswa dengan kemampuan yang lebih tinggi mengambil bagian dalam berbagai aktivitas matematika, dan siswa dengan kemampuan yang lebih rendah masih dapat menyenangi aktivitas matematika menurut kemampuan-kemampuan mereka sendiri.
Shimada (1997: 1) mengatakan, pendekatan open ended adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dari mengenalkan atau menghadapkan siswa pada masalah open ended. Pembelajaran dilanjutkan dengan menggunakan banyak jawaban yang benar dari masalah yang diberikan untuk memberikan pengalaman kepada siswa dalam menemukan sesuatu yang baru di dalam proses pembelajaran. Dengan kegiatan ini diharapkan pula dapat membawa siswa untuk menjawab permasalahan dengan banyak cara, sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Dengan demikian pembelajaran akan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika.
Ketika siswa dihadapkan pada masalah open ended, tujuannya bukan hanya berorientasi pada mendapatkan jawaban atau hasil akhir tetapi lebih menekankan pada bagaimana siswa sampai pada suatu jawaban, siswa dapat mengembangkan metode, cara atau pendekatan yang berbeda untuk menyelesaikan masalah. Dalam pelaksanaannya, hal tersebut memberikan peluang pada siswa untuk menyelidiki dengan metode yang mereka merasa yakin, dan memberikan kemungkinan elaborasi yang lebih besar dalam pemecahan masalah matematik. Sebagai hasilnya, dimungkinkan untuk mempunyai suatu pengembangan yang lebih kaya dalam pemikiran matematik siswa, serta membantu perkembangan aktivitas yang kreatif dari siswa.
Ide dari pendekatan open ended, yang digambarkan sebagai suatu pendekatan pengajaran di mana aktivitas interaksi antara matematika dan siswa terbuka dalam berbagai macam pendekatan pemecahan masalah (Nohda: 1999). Makna aktivitas interaksi antara ide-ide matematika dan perilaku-perilaku siswa disebut terbuka dalam memecahkan masalah dapat dijelaskan dari tiga aspek: (1) aktivitas siswa dikembangkan melalui pendekatan terbuka, (2) suatu masalah yang digunakan dalam pendekatan open ended melibatkan ide-ide matematika, (3) pendekatan open ended harus selaras dengan aktivitas interaksi antara (1) dan (2). Suherman, dkk (2003: 125) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai denga kehendak mereka. Aktivitas siswa dan ide-ide matematika dikatakan selaras, jika kebutuhan dan berpikir matematika siswa terperhatikan guru melalui kegiatan kegiatan matematika yang bermanfaat untuk menjawab permasalahan. Dengan demikian pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open ended bukan hanya memberikan masalah-masalah terbuka kepada siswa untuk diselesaikan namun dalam proses pembelajarannya harus menjamin keterbukaan aktivitas siswa.


2. Masalah Open Ended
Menurut Shimada (1997: 1), masalah yang diformulasikan memiliki banyak jawaban benar disebut masalah tak lengkap (incomplete) atau masalah terbuka (open ended). NCTM (1989 : 76) mendefinisikan masalah open ended sebagai: Situasi yang membiarkan siswa untuk mengalami masalah dengan angka-angka yang tidak beraturan, angka-angka yang banyak, informasi yang tidak lengkap atau mempunyai solusi - solusi ganda, masing-masing dengan konsekuensi - konsekuensi yang berbeda. Sedangkan dasar keterbukaan masalah diklasifikasikan dalam tiga tipe, yakni: (1) prosesnya terbuka, maksudnya masalah itu memiliki banyak cara penyelesaian yang benar, (2) hasil akhirnya terbuka, maksudnya masalah itu memiliki banyak jawaban yang benar, dan (3) cara pengembangan lanjutannya terbuka, maksudnya ketika siswa telah menyelesaikan masalahnya, mereka dapat mengembangkan masalah baru yaitu dengan cara merubah kondisi masalah sebelumnya.
Lebih lanjut Sawada (1997: 27) mengemukakan bahwa secara umum terdapat tiga tipe masalah open ended yang dapat diberikan, yaitu:
Tipe 1 : Menemukan hubungan. Soal ini diberikan bertujuan agar siswa dapat menemukan beberapa aturan atau hubungan matematis.
Tipe 2 : Mengklasifikasi. Siswa diminta mengklasifikasikan berdasarkan karakteristik yang berbeda dari suatu obyek tertentu untuk memformulasikan beberapa konsep tertentu.
Tipe 3 : Pengukuran. Siswa diminta menentukan ukuran-ukuran numerik dari suatu kejadian tertentu. Siswa diharapkan dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya untuk memecahkan masalah.
Cooney, et al. (2002) memberikan beberapa petunjuk untuk membuat pertanyaan open ended, yakni:
a. Meminta siswa untuk membuat suatu situasi atau contoh yang memenuhi kondisi tertentu.
Pertanyaan-pertanyaan dari jenis ini memerlukan siswa untuk mengenali karakteristik-karakteristik dari konsep dasar. Siswa harus mengambil apa yang mereka pahami tentang suatu konsep dan menerapkannya untuk menciptakan suatu contoh. (Di setiap contoh-contoh yang diberikan, siswa diminta untuk menciptakan sejumlah atau beberapa jenis dari objek matematika yang memenuhi kriteria tertentu). Contohnya sebagai berikut.
1) Identifikasi tiga bilangan yang KPK-nya adalah 5 dan FPB-nya adalah 180. Uraikan bagaimana kamu menemukan bilangan tersebut?
2) Tulislah himpunan data yang memenuhi kondisi berikut:
Himpunan memiliki 7 point data. Range-nya adalah 10 unit. Meannya lebih besar dari median. Tunjukkan himpunan datamu yang memenuhi kondisi tersebut.
b. Meminta siswa untuk menjelaskan siapa yang benar dan mengapa
Tipe ini menghadirkan dua atau lebih pandangan dari beberapa konsep atau prinsip matematika dan siswa memutuskan mana yang benar dan mengapa.

Contoh pertanyaannya sebagai berikut.
1) Berikut ini respon yang diberikan ketika siswa ditanya tentang 28
Budi: 28 = 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 16
Wati: 28 = 22 . 22 . 22 . 22 = 256
Iwan: 28 = 22 . 22 . 22 = 64
Siswa mana yang benar? Jelaskan mengapa siswa tersebut benar?
2) Rina mengklaim bahwa ia dapat membagi persegi panjang ke dalam empat area yang sama, seperti yang ditunjukkan pada gambar di samping . Tuti tidak setuju. Siapa yang benar dan mengapa?
c. Meminta siswa untuk memecahkan atau menjelaskan masalah atau solusi dalam dua atau lebih cara.
Kesukaran dalam membuat item ini adalah tidak selalu mudah untuk menentukan apa yang merupakan metode alternatif dan mungkin sulit bagi siswa berpikir bahwa mengapa suatu masalah harus dipecahkan dengan cara yang berbeda ketika mereka sudah dapat memecahkannya dengan satu cara.
B
AContoh pertanyaannya sebagai berikut.
1) Gambarkan dua tranformasi yang berbeda dari peta persegi ABCD ke dirinya sendiri.
D
C
2) Berikan dua contoh bilangan bulat pengganti x sehingga memungkinkan untuk mengkonstruksi segitiga yang panjangnya diberikan.
Jelaskan mengapa nilaimu untuk x dapat membentuk segitiga?
Dari kedua pendapat tersebut, pertanyaan open ended dapat saja dibuat dengan berbagai tipe. Melalui pertanyaan open ended tersebut, diharapkan siswa dapat mengkomunikasikan pemikiran matematis mereka. Adapun penyajian soalnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya sebagai berikut.
a. Sajikan masalah melalui situasi fisik yang nyata dimana konsep-konsep matematika dapat diamati dan dikaji siswa.
b. Soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan hubungan dan sifat-sifat dari variabel dalam persoalan itu.
c. Sajikan bentuk-bentuk atau bangun-bangun (geometri) sehingga siswa dapat membuat suatu konjektur.
d. Sajikan urutan bilangan atau tabel sehingga siswa dapat menemukan aturan matematika.
e. Berikan beberapa contoh konkrit dalam beberapa kategori sehingga siswa dapat mengelaborasi sifat-sifat dari contoh itu untuk menemukan sifat-sifat yang umum.
f. Berikan siswa pada sekelompok latihan atau masalah yang serupa, kemudian minta siswa untuk menyelesaikannya dan menemukan beberapa kesamaan sifat yang mungkin.
Selanjutnya Cooney, et al. (2002) mengemukakan yang perlu diperhatikan dalam membuat pertanyaan open ended adalah satu item harus mencakup.
a. Keterlibatkan matematika yang signifikan.
Masalah open ended sering kali mempunyai beberapa sasaran atau tujuan, dengan demikian memberikan peluang pada siswa untuk menunjukkan pemahaman mereka tentang koneksi-koneksi antara topik-topik matematika dan bagaimana matematika dapat memodelkan suatu masalah dunia nyata.
b. Menimbulkan respon yang luas.
Ketika jawaban suatu masalah adalah tunggal, siswa sering kali menyimpulkan hanya ada satu cara untuk memecahkan masalah. Namun dengan menjelaskan pemikiran mereka akan mendorong suatu respon luas dari suatu masalah dan memungkinkan mereka menjelaskan ide-ide matematika dengan cara yang berbeda.
c. Memerlukan komunikasi.
Salah satu dari kekuatan dari pendekatan open ended adalah dengan mendisain suatu masalah yang memberikan peluang kepada siswa untuk mengkomunikasikan pemikiran mereka. Ketika siswa diwajibkan untuk mengkomunikasikan proses-proses penalaran mereka, guru mempunyai kesempatan untuk mengetahui tentang apa yang diketahui siswa dan bagaimana mereka dapat menerapkannya pada suatu masalah yang diberikan.
d. Dinyatakan dengan jelas.
Suatu pertanyaan open ended semestinya tidak mengaburkan maknanya. Pertanyaan itu harus mempunyai suatu tujuan yang jelas meskipun dapat dijawab dengan banyak respon (jawab yang benar). Siswa perlu mengetahui apa yang diharapkan dari mereka dan apa yang guru harapkan sebagai suatu respon lengkap dan baik. Penting untuk seorang guru membantu siswa mengembangkan keterampilan berkomunikasi mereka dan kemampuan untuk menganalisa seberapa baik komunikasi tulisan serta penalaran mereka.
e. Mendorong kepada suatu rubrik skor.
Tujuan pertanyaan open ended memberikan peluang kepada siswa dengan untuk mengkomunikasikan pemahaman mereka selain dari jawaban benar dan salah. Hal tersebut memungkinkan untuk memperkirakan respon atau jawaban siswa mempunyai beberapa nilai (lebih baik daripada skor 0) tetapi bukan pula nilai penuh karena itu diperlukan suatu rubrik skor.
Sementara itu, Syaban (2008) mengemukakan bahwa di dalam menyusun suatu pertanyaan open ended terdapat dua teknik yang dapat dilakukan.
a. Teknik bekerja secara terbalik (working backward).
Teknik ini terdiri dari tiga langkah, yaitu:
1) mengidentifikasi topik
2) memikirkan pertanyaan dan menuliskan jawaban lebih dulu
3) membuat pertanyaan open ended didasarkan pada jawaban yang telah dibuat.
b. Teknik penggunaan pertanyaan standar (adapting a standard question).
Teknik ini juga terdiri dari tiga langkah yaitu:
1) mengidentifikasi topik
2) memikirkan pertanyaan standar
3) membuat pertanyaan open-ended yang baik berdasarkan pertanyaan standar yang telah dibuat.

3. Langkah-Langkah Pembelajaran Open Ended
Setelah guru mengkonstruksi masalah open ended, guru perlu mempertimbangkan tiga hal berikut, sebelum masalah itu ditampilkan di kelas sebagai awal dari pembelajaran, yaitu: (1) apakah masalah tersebut kaya dengan konsep-konsep matematika, (2) Apakah level matematika dari masalah cocok untuk siswa dan (3) apakah masalah itu dapat mengembangkan konsep matematika lebih lanjut (Sawada, 1997: 31). Masalah yang dibuat harus dapat mendorong siswa berpikir dalam berbagai pandangan yang berbeda, sehingga masalah tersebut harus kaya akan konsep-konsep matematika yang dapat dipecahkan dengan berbagai strategi yang sesuai untuk siswa berkemampuan tinggi, maupun rendah. Tingkat kesulitan masalah juga harus cocok dengan kemampuan siswa, karena ketika mereka akan menyelesaikan masalah open ended mereka harus menggunakan pengetahuan atau keterampilan yang telah mereka ketahui sebelumnya. Hal lainnya yang harus dipenuhi adalah masalah yang dibuat harus memiliki keterkaitan dengan konsep-konsep matematika yang lebih tinggi.
Apabila guru telah menyusun suatu masalah open ended dengan baik, langkah selanjutnya adalah mengembangkan rencana pembelajaran. Pada tahap ini hal-hal yang perlu diperhatikan adalah.
a. Tuliskan respon siswa yang diharapkan
Siswa diharapkan merespon masalah open ended yang diberikan dengan berbagai cara, oleh karena itu guru perlu menuliskan daftar antisipasi respon siswa terhadap masalah. Hal ini diperlukan mengingat kemampuan siswa dalam mengekspresikan ide mereka terbatas, mungkin mereka tidak dapat menjelaskan aktivitas mereka dalam menyelesaikan masalah, mungkin pula mereka dapat menjelaskannya degan baik. Antisipasi respon siswa yang dibuat guru merupakan suatu upaya mengarahkan dan membantu siswa memecahkan masalah sesuai dengan cara dan kemampuannya.
b. Tujuan yang harus dicapai dari masalah yang diberikan harus jelas
Guru harus benar-benar memahami peran masalah dalam keseluruhan rencana pembelajaran. Apakah masalah yang akan diberikan kepada siswa diperlakukan sebagai pengenalan konsep baru atau sebagai rangkuman dari kegiatan belajar siswa. Berdasarkan berberapa hasil penelitian masalah open ended efektif digunakan untuk pengenalan konsep baru atau dalam merangkum kegiatan belajar.
c. Lengkapi dengan prinsip problem posing sehingga siswa dapat memahami maksud dari masalah tersebut dengan mudah atau dapat memahami apa yang diharapkan dari mereka
Masalah yang disajikan harus memuat informasi yang lengkap sehingga siswa dapat memahaminya dengan mudah dan dapat menemukan pemecahannya. Siswa dapat mengalami kesulitan memahami masalah dan memecahkannya apabila penjelasan masalah terlalu ringkas. Hal ini dapat saja terjadi karena guru bermaksud memberi kebebasan yang cukup kepada siswa untuk memilih cara dan pendekatan pemecahan masalah atau karena siswa hanya memiliki sedikit pengalaman belajar, atau bahkan sama sekali tidak memilikinya akibat terbiasa mengikuti petunjuk pada buku teks. Untuk menghindari kesulitan yang dihadapi siswa maka guru harus memberikan perhatian khusus dalam menyajikan masalah.
d. Sajikan masalah semenarik mungkin.
Mengingat pemecahan masalah open-ended memerlukan waktu untuk berpikir, maka konteks permasalahan yang disampaikan harus dikenal baik oleh siswa dan harus menarik perhatian serta membangkitkan semangat intelektual.
e. Berikan waktu yang cukup kepada siswa untuk mengeksplorasi masalah.
Guru harus memperhitungkan waktu yang dibutuhkan siswa untuk memahami masalah, mendiskusikan kemungkinan pemecahannya, dan merangkum apa yang telah dipelajari. Berdiskusi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru merupakan interaksi yang sangat penting dalam pembelajaran open ended
Hashimoto (1997: 13) mengatakan bahwa dalam pembelajaran dengan pendekatan open ended, guru harus berhati-hati dalam mengalokasikan dan mengatur waktu karena mungin saja siswa menanggapi dengan banyak respon, baik yang sesuai harapan maupun yang tidak, dan semua itu harus didiskusikan dan disimpulkan. Karena itu disarankan pembelajaran ini disusun dalam dua tahap, yakni.
Tahap pertama: bekerja individual dalam menyelesaikan masalah yang diberikan guru di awal pembelajaran untuk seluruh siswa di kelas. Setiap siswa diberikan kertas kosong sebagai tempat untuk mereka menuliskan ide-idenya. Kertas-kertas tersebut dikumpulkan yang berguna untuk guru mempersiapkan kesimpulan dari respon individu. Kemudian dalam kelompok yang terdiri atas empat orang siswa, mereka mendiskusikan hasil pekerjaan individunya dan perwakilan kelompok menuliskan hasil diskusi kelompoknya.
Tahap kedua: Hasil dari masing-masing kelompok dipresentasikan dan didiskusikan. Kemudian pembelajaran disimpulkan
Secara umum Takahashi (2005) menggambarkan proses pembelajaran dengan pendekatan open ended, seperti yang terlihat pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Pembelajaran dengan Pendekatan Open Ended

Berdasarkan uraian tentang pembelajaran open ended, maka garis besar langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut. Langkah pembelajaran pembelajaran meliputi kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Kegiatan inti mencakup memberikan masalah, merekam respon yang diharapkan dari siswa, pembahasan respon siswa, dan meringkas atay apa yang telah dipelajari. Adapun langkah pembelajarannya sebagai berikut.
a. Kegiatan awal
1) Guru melakukan tanya jawab untuk mengecek pengetahuan prasyarat dan keterampilan yang dimiliki murid
2) Guru menginformasikan kepada murid materi yang akan mereka pelajari, dan kegunaan materi tersebut.
b. Kegiatan inti
1) Memberi masalah
Guru memberikan masalah open ended yang berkaitan dengan materi yang diajarkan sehingga siswa dapat memahaminya dan menemukan pendekatan penyelesaiannya.
2) Mengeksplorasi masalah
Waktu mengeksplorasi masalah dibagi dua sesi. Sesi pertama digunakan untuk bekerja secara individual untuk menyelesaikan masalah. Pada sesi kedua siswa bekerja secara berkelompok untuk mendiskusikan hasil pekerjaan individunya.
3) Merekam respon siswa
Guru meminta salah seorang siswa sebagai wakil dari suatu kelompok untuk mengemukakan hasil diskusinya. Siswa diharapkan merespon masalah dalam berbagai cara dan penyelesaian dan guru merekamnya.
4) Pembahasan respon siswa (diskusi kelas)
Guru mencatat respon siswa, pendekatan atau solusi masalah mereka dan menulis sebanyak mungkin kemungkinan respon siswa dan mendaftarnya. Kemudian mengelompokkan respon siswa sesuai dengan sudut pandang tertentu. Dalam proses diskusi kelas guru mendorong siswa agar dapat memberikan jawaban dan kesimpulan tentang konsep yang diajarkan.
5) Meringkas apa yang dipelajari
Hasil diskusi kelas disimpulkan, kemudian guru memberikan soal-soal lain yang berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari dan siswa diminta mengerjakannya, baik secara individu maupun kelompok.
c. Kegiatan akhir
1) Guru memberikan soal-soal untuk dikerjakan di rumah.
2) Guru memberikan informasi tentang materi yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya.

4. Kelebihan Dan Kekurangan Pendekatan Open Ended
Berdasarkan ciri-ciri dan langkah pembelajaran dengan pendekatan open ended, terlihat bahwa terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan dalam pembelajaran ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sawada (1997: 24), bila pendekatan open-ended digunakan dalam pembelajaran di sekolah, setidaknya ada lima keuntungan yang dapat diharapkan, yaitu:
a. Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam proses pembelajaran dan mereka dapat mengungkapkan ide-ide mereka secara lebih sering, sehingga siswa tidak hanya pasif dengan hanya menggunakan cara yang dicontohkan oleh gurunya.
b. Siswa mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika mereka secara komperhensif. Mereka memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki sebelumnya.
c. Setiap siswa dapat menjawab permasalahan dengan caranya sendiri, demikian pula siswa yang berkemampuan rendah, mereka dapat merespon permasalahan dengan cara mereka sendiri.
d. Siswa secara instrinsik termotivasi untuk memberikan bukti atau penjelasan atas jawaban permasalahan yang deberikan.
e. Siswa memiliki banyak pengalaman dalam menemukan sesuatu dalam menjawab permasalahan dan menerima masukan-masukan dari teman-temannya.
Di samping keunggulan yang dapat diperoleh dari pendekatan open ended terdapat pula beberapa kelemahan, antara lain.
a. Membuat dan menyiapkan masalah matematika yang bermakna bagi siswa adalah cukup sulit.
b. Cukup sulit bagi guru untuk mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa. Terkadang siswa mengalami kesulitan untuk memahami masalah dan memberikan respon yang tidak signifikan secara matematis
c. Siswa yang berkemampuan tinggi terkadang merasa ragu dan mencemaskan jawaban mereka.
d. Siswa dapat merasa bahwa kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti tidak menyenangkan karena kesulitan yang mereka hadapi dalam menuntaskan pelajarannya.






D. Keterkaitan Antara Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Kemampuan
Representasi Serta Pembelajaran Open Ended Sebagai Suatu Solusi
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa kemampuan representasi sangat berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah. Pemilihan representasi matematika yang tepat akan memudahkan siswa dalam melakukan pemecahan masalah, sebaliknya pemilihan representasi yang keliru dapat membuat masalah menjadi sukar untuk dipecahkan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan dalam NCTM (2000: 67), representasi yang dibangun oleh siswa ketika mereka memecahkan masalah dan menyelidiki ide-ide matematika memainkan peranan yang penting dalam membantu siswa memahami dan memecahkan masalah dan menyediakan jalan atau cara yang bermakna untuk merekam suatu metode solusi dan untuk menguraikan metoda itu kepada yang lain. Adalah suatu hal yang penting bagi siswa tidak hanya belajar tentang representasi - representasi konvensional tetapi juga membangun, menghaluskan, dan menggunakan representasi mereka sendiri sebagai alat untuk mendukung pembelajaran dan mengerjakan matematika.
Montague (2007) menegaskan representasi masalah yang sesuai adalah dasar untuk mengerti masalah dan membuat suatu rencana untuk memecahkan masalah. Lebih lanjut ia mengatakan visualisasi adalah suatu strategi representasi yang sangat tangguh, namun banyak siswa tidak mengembangkan kemampuan tersebut untuk menggunakan representasi visual secara otomatis selama pemecahan masalah matematika. Siswa memerlukan instruksi eksplisit tentang bagaimana caranya menggunakan visualisasi untuk merepresentasikan masalah. Beberapa siswa mungkin saja menggunakan visualisasi, tetapi menerapkannya tidak sesuai, sehingga tidak efektif. Mengajar pemecahan masalah matematika adalah suatu tantangan untuk para guru, yang secara umum bersandar pada buku teks matematika dalam pembelajarannya. Kebanyakan buku teks matematika hanya sedikit menginstruksikan siswa untuk membuat suatu gambar atau membuat suatu diagram dari informasi yang terdapat dalam masalah. Ketika melakukannya siswa yang mempunyai kesulitan dalam pemecahan masalah matematika biasanya membuat suatu gambar dari masalah tanpa mempertimbangkan hubungan-hubungan di antara komponen-komponen masalah, sebagai hasilnya mereka tetap tidak dapat memahami masalah, sehingga tidak bisa membuat suatu rencana untuk memecahkannya.
Jadi, kemampuan representasi bukanlah sekedar membuat suatu gambar, suatu diagram, tabel atau grafik dari suatu masalah tetapi jenis dari representasi yang dipilih untuk menggambarkan suatu masalah dan hubungannya dengan komponen-komponen yang terdapat dalam masalah adalah sangat penting. Representasi dikatakan efektif, baik secara tertulis atau dalam suatu imajinasi jika menunjukkan hubungan di antara bagian-bagian dalam masalah. Hal ini disebut oleh van Garderen & Montague (dalam Montague, 2007) sebagai representasi skematik.
Sehubungan dengan kemampuan pemecahan masalah NCTM (1989: 11) merekomendasikan pembelajaran matematika harus dikembangkan dari situasi-situasi masalah. Selama situasi-situasi itu dikenal oleh siswa, konsep-konsep yang diciptakan dari objek, kejadian, dan hubungan-hubungan antara operasi dan strategi akan dapat dipahami dengan baik. Situasi masalah yang dimunculkan dalam pembelajaran harus cukup sederhana untuk dapat dipahami tetapi cukup kompleks untuk menyediakan keanekaragaman dalam pendekatan penemuan dari solusi masalah tersebut. Siswa harus bersedia menerima pendapat dari orang lain baik dari individu, kelompok kecil, atau kelompok besar dalam pembelajaran, dan bersikap terbuka juga fleksibel menyangkut metode-metode yang digunakan dalam menentukan atau menemukan solusi.
NCTM juga menekankan pemakaian strategi yang beragam untuk memecahkan masalah, dan merekomendasikan guru untuk mendorong siswa untuk menerapkan strategi ini. Strategi ini termasuk memanipulasi, mencoba-coba (trial and error), mencoba kasus per kasus atau nilai khusus, menebak dan mengecek, mendaftar berbagai kemungkinan, mengumpulkan dan mengorganisasi data dalam tabel, mencari suatu pola dari tabel, menggambar suatu diagram, dan bekerja mundur (NCTM 1989 :76 & NCTM 2000 : 53).
Dari rekomendasi tersebut jelas bahwa NCTM sangat menganjurkan penggunaan masalah open ended dalam menyajikan suatu situasi masalah karena dengan menggunakan masalah open ended, siswa bekerja dengan multi jawab dan multi cara/metode. Secara lebih tegas dalam NCTM (1989: 76) dikatakan bahwa menghadirkan pada siswa permasalahan open ended adalah suatu karakteristik yang sangat penting dari pemecahan masalah. Keterbukaan dalam penggunaan startegi atau metode penyelesaian masalah juga tentunya akan mengundang beragam representasi dari suatu masalah, sehingga dengan pembelajaran open ended diharapkan dapat menumbuhkembangkan kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematika siswa.
DAFTAR PUSTAKA


Bell, F. H. (1978). Teaching and Learning Mathematics in Secondary School. New York: Wm. C. Brown Company Publisher.

Branca, N.A. (1980). Problem Solving as a goal, process and basic skills. In S. Krulik and R.E. Reys (Ed). Problem solving in School Mathematics. Washingthon DC: NCTM.

Cai, Lane, & Jacabcsin. (1996). “Assesing Students’ mathematical communication”. Official Journal of Science and Mathematics. 96(5)
Cooney, et al. (2002). Open-Ended Assessment In Math A Searchable Collection Of 450+ Questions. [on-line]. Available: http://books.heinemann.com/math/ index.cfm. [31 Maret 2008].
Gagatsis, A. (2004). A Review of The Research on The Role of External Representations on Understanding And Learning Mathematics And Problem Solving. [on-line]. Available: http://www.uia.no/no/content/download/ 28532/317673/version/2/file/gagatsis_h04.pdf [18 Desember 2007].

Gagatsis, A. & Elia, I. (2004). The Effects Of Different Modes Of Representation On Mathematical Problem Solving. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2, pp. 447–454.

Goldin, G. A. (2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving. In L.D English (Ed). International Research in Mathematical Education IRME, 197-218. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Hashimoto, Y. (1997). An Example of Lesson Development. Shimada, S. dan Becker, J.P. (Ed). The Open Ended Approach. A New Proposal for Teaching Mathematics. Reston: VA NCTM.

Hudojo, H. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: P2LPTK, Dirjen Dikti, Depdikbud.
. (2002). Representasi Belajar Berbasis Masalah. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. ISSN: 085-7792. Tahun viii, edisi khusus.

Hwang, et al. (2007). Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212.

Jones, A.D. (2000). The Fifth Process Standart:An Argument to Include Representation in Standards 2000. [on-line]. Available: http://www.math. umd.edu/~dac/650/ jonespaper.hmtl [10 Desember 2007].

Ludlow, A.S. (2001). The Object-process Duality of Representation: A peircean Perspective. In H. Hitt (Ed). Working Group on Representation and Mathematics visualization (1998 – 2001). [on-line]. Available: http://www. matedu.cinvestav.mx/Adalira.pdf [10 November 2007].

Luitel, B.C. (2001). Multiple Representations of Mathematical Learning. [on-line]. Available: http://www.matedu.cinvestav.mx/adalira.pdf [18 Desember 2007].
Montague, M. (2007). Math Problem Solving for Middle School Students with Disabilities. [on-line]. Avaliable: http://www.k8accesscenter.org/training_ resources/MathProblemSolving.asp. [26 Mei 2008].
National Council of Teacher of Mathematics. (1989). Principles and Standards for School Mathematics. Reston. VA: NCTM.

National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston. VA: NCTM.

Neria, D. & Amit, M. (2004). Students Preference Of Non-Algebraic Representations In Mathematical Communication. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education Vol. 3, pp. 409 – 416.

Nohda, N. (1999). A Study Of "Open-Approach" Method In School Mathematics Teaching - Focusing On Mathematical Problem Solving Activities. [on-line]. Avaliable: http://www.nku.edu/~sheffield/nohda.html. [31 Maret 2008].

Polya, G. (1985). How to solve it. Princeton: Princeton University Press.

Sawada, T. (1997). Developing Lesson Plans. In Shimada, S. dan Becker, J.P. (Ed). The Open Ended Approach. A New Proposal for Teaching Mathematics. Reston: VA NCTM.

Shimada, S. (1997). The Significance of an Open Ended Approach. In Shimada, S. dan Becker, J.P. (Ed). The Open Ended Approach. A New Proposal for Teaching Mathematics. Reston: VA NCTM.

Suherman, E, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Sumarmo, U. (2005). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Tahun 2002 Sekolah Menengah. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika di FMIPA Universitas Negeri Gorontalo.

Sutawidjaja, A. (1998). Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Program Pascasarjana IKIP Malang pada 4 April 1998.

Syaban, M. (2008). Menggunakan Open-Ended untuk Memotivasi Berpikir Matematika. [on-line]. Avaliable: http://educare.e-fkipunla.net/index.php? option=com_content&task=view&id=54&Itemid=4. [19 Mei 2008].


Wilson, J.W., Fernandez, M.L., & Hadaway, N. (1993). Mathematical Problem Solving. [on-line]. Available: http://jwilson.coe.uga.edu/emt725/PSsyn/ Pssyn. html. [25 Januari 2008]

Reoresentasi Matematik

REPRESENTASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Syarifah Fadillah
STKIP PGRI Pontianak

PENDAHULUAN
Tujuan pembelajaran matematika telah mengalami perubahan, tidak lagi hanya menekankan pada peningkatan hasil belajar, namun juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan: (1) komunikasi matematika (mathematical communication); (2) penalaran matematika (mathematical reasoning); (3) pemecahan masalah matematika (mathematical problem solving); (4) mengaitkan ide-ide matematika (mathematical connections); (5) representasi matematika (mathematical representation) (NCTM, 2000)
Salah satu keterampilan matematika yang perlu dikuasai siswa adalah kemampuan representasi. Standar representasi pada National Council of Teacher of Mathematics (NCTM), menetapkan bahwa program pembelajaran dari pra-taman kanak-kanak sampai kelas 12 harus memungkinkan siswa untuk:
1. menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengorganisir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide matematika;
2. memilih, menerapkan, dan menerjemahkan representasi matematika untuk memecahkan masalah;
3. menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematika
(NCTM, 2000).
Ainsworth, Labeke, dan Peevers (2001) mengemukakan bahwa tugas-tugas kognitif siswa yang berkenaan dengan representasi adalah:
1. Siswa harus memahami suatu representasi (yaitu: mana yang merupakan bentuk dan operator dari suatu representasi).
2. Siswa harus memahami hubungan antara representasi dan domainnya.
3. Siswa harus menerjemahkan antar representasi.
4. Jika representasi dirancang mereka sendiri, siswa perlu memilih dan membangun representasi yang sesuai.
Kemampuan representasi merupakan salah satu komponen proses standar dalam Principles and Standards for School Mathematics selain kemampuan pemecahan masalah, penalaran, komunikasi dan koneksi. Hal ini mengandung beberapa alasan. Menurut Jones (2000), terdapat tiga alasan mengapa representasi merupakan salah satu dari proses standar, yaitu:
1. kelancaran dalam melakukan translasi di antara berbagai jenis representasi yang berbeda merupakan kemampuan dasar yang perlu dimiliki siswa untuk membangun suatu konsep dan berpikir matematika;
2. ide-ide matematika yang disajikan guru melalui berbagai representasi akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap siswa dalam mempelajari matematika; dan
3. siswa membutuhkan latihan dalam membangun representasinya sendiri sehingga siswa memiliki kemampuan dan pemahaman konsep yang baik dan fleksibel yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah.
Pencantuman representasi sebagai komponen standar proses dalam Principles and Standards for School Mathematics cukup beralasan karena untuk berpikir matematika dan mengkomunikasikan ide-ide matematika, seseorang perlu merepresentasikannya dalam berbagai cara. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa obyek dalam matematika itu semuanya abstrak dan untuk mempelajari dan memahami ide-ide abstrak itu memerlukan representasi.

DEFINISI REPRESENTASI
Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli berkenaan tentang representasi sebagaimana dikemukakan berikut ini.
1. Representasi adalah model atau bentuk pengganti dari suatu situasi masalah atau aspek dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi, sebagai contoh, suatu masalah dapat direpresentasikan dengan obyek, gambar, kata-kata, atau simbol matematika (Jones & Knuth, 1991).
2. Representasi merupakan cara yang digunakan seseorang untuk mengkomunikasikan jawaban atau gagasan matematik yang bersangkutan (Cai, Lane, & Jacabcsin, 1996: 243).
3. Representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan-gagasan atau ide-ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upayanya untuk mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya (NCTM, 2000: 67).
4. Terdapat empat gagasan yang digunakan dalam memahami konsep representasi. Pertama, representasi dapat dipandang sebagai abstraksi internal dari ide-ide matematika atau skemata kognitif yang dibangun oleh siswa melalui pengalaman; kedua, sebagai reproduksi mental dari keadaan mental yang sebelumnya; ketiga, sebagai sajian secara struktur melalui gambar, simbol ataupun lambang; dan yang terakhir, sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain (Pape & Tchoshanov dalam Luitel, 2001).
5. Representasi didefinisikan sebagai aktivitas atau hubungan dimana satu hal mewakili hal lain sampai pada suatu level tertentu, untuk tujuan tertentu, dan yang kedua oleh subjek atau interpretasi pikiran. Representasi menggantikan atau mengenai penggantian suatu obyek, penginterpretasian pikiran tentang pengetahuan yang diperoleh dari suatu obyek, yang diperoleh dari pengalaman tentang tanda representasi (Parmentier dalam Ludlow, 2001:39).
6. Representasi merupakan proses pengembangan mental yang sudah dimiliki seseorang, yang terungkap dan divisualisasikan dalam berbagai model matematika, yakni: verbal, gambar, benda konkret, tabel, model-model manipulatif atau kombinasi dari semuanya (Steffe, Weigel, Schultz, Waters, Joijner, & Reijs dalam Hudoyo, 2002: 47).
7. Representasi adalah suatu konfigurasi yang dapat menyajikan suatu benda dalam suatu cara (Goldin, 2002: 209).
8. Representasi adalah suatu konfigurasi dan sejenisnya yang berkorespondensi dengan sesuatu, mewakili, melambangkan atau menyajikan sesuatu (Palmer dalam Kaput & Goldin, 2004: 2).
9. Dalam psikologi umum, representasi berarti proses membuat model konkret dalam dunia nyata ke dalam konsep abstrak atau simbol. Dalam psikologi matematika, representasi bermakna deskripsi hubungan antara objek dengan simbol (Hwang, Chen, Dung, & Yang, 2007).
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa representasi adalah ungkapan-ungkapan dari ide matematika yang ditampilkan siswa sebagai model atau bentuk pengganti dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari interpretasi pikirannya. Suatu masalah dapat direpresentasikan melalui gambar, kata-kata (verbal), tabel, benda konkrit, atau simbol matematika. Jenis-jenis representasi akan dibicarakan lebih lanjut di bagian lain dari tulisan ini.
Vergnaud (Goldin, 2002: 207) menyatakan representasi merupakan unsur yang penting dalam teori belajar mengajar matematika, tidak hanya karena pemakaian sistem simbol yang juga penting dalam matematik dan kaya akan kalimat dan kata, beragam dan universal, tetapi juga untuk dua alasan penting yakni: (1) matematika mempunyai peranan penting dalam mengkonseptualisasi dunia nyata; (2) matematika membuat homomorphis yang luas yang merupakan penurunan dari struktur hal-hal lain yang pokok.
Penjelasan kedua alasan di atas yakni matematika merupakan hal yang abstrak, maka untuk mempermudah dan memperjelas dalam penyelesaian masalah matematika, representasi sangat berperan, yaitu untuk mengubah ide abstrak menjadi konsep yang nyata, misalkan dengan gambar, simbol, kata-kata, grafik dan lain-lain. Selain itu matematika memberikan gambaran yang luas dalam hal analogi konsep dari berbagai topik yang ada. Dengan demikian diharapkan bahwa bilamana siswa memiliki akses ke representasi-representasi dan gagasan-gagasan yang mereka tampilkan mereka, maka mereka memiliki sekumpulan alat yang secara signifikan siap memperluas kapasitas mereka dalam berpikir secara matematis (NCTM, 2000).

JENIS-JENIS REPRESENTASI
Hiebert dan Carpenter (dalam Hudojo, 2002) mengemukakan bahwa pada dasarnya representasi dapat dinyatakan sebagai internal dan eksternal. Berpikir tentang ide matematika yang kemudian dikomunikasikan memerlukan representasi eksternal yang wujudnya antara lain: verbal, gambar dan benda konkrit. Berpikir tentang ide matematika yang memungkinkan pikiran seseorang bekerja atas dasar ide tersebut merupakan representasi internal.
Representasi internal dari seseorang sulit untuk diamati secara langsung karena merupakan aktivitas mental dari seseorang dalam pikirannya (minds-on). Tetapi representasi internal seseorang itu dapat disimpulkan atau diduga berdasarkan representasi eksternalnya dalam berbagai kondisi; misalnya dari pengungkapannya melalui kata-kata (lisan), melalui tulisan berupa simbol, gambar, grafik, tabel ataupun melalui alat peraga (hands-on). Dengan kata lain terjadi hubungan timbal balik antara representasi internal dan eksternal dari seseorang ketika berhadapan dengan sesuatu masalah.
Schnotz (dalam Gagatsis, 2004) membagi representasi eksternal dalam dua kelas yang berbeda yaitu representasi descriptive dan depictive. Representasi descriptive terdiri atas simbol yang mempunyai struktur sembarang dan dihubungkan dengan isi yang dinyatakan secara sederhana dengan makna dari suatu konvensi, yakni teks, sedangkan representasi depictive termasuk tanda-tanda ikonic yang dihubungkan dengan isi yang dinyatakan melalui fitur struktural yang umum secara konkret atau pada tingkat yang lebih abstrak, yaitu, display visual.
Lebih lanjut Gagatsis dan Elia (2004) mengatakan bahwa untuk siswa kelas 1, 2 dan 3 sekolah dasar, representasi dapat digolongkan menjadi empat tipe representasi, yaitu representasi verbal (representasi descriptive), gambar informational, gambar decorative, dan garis bilangan (representasi depictive).
Cai, Lane, dan Jacabcsin (1996: 243) menyatakan bahwa ragam representasi yang sering digunakan dalam mengkomunikasikan matematika antara lain: tabel, gambar, grafik, pernyataan matematika, teks tertulis, ataupun kombinasi semuanya. Sementara Steffe, Weigel, Schultz, Waters, Joijner, Reijs (Hudoyo, 2002: 47) menggolongkan representasi menjadi: verbal, gambar, benda konkret, tabel, model-model manipulatif atau kombinasi dari semuanya.
Shield & Galbraith (dalam Neria & Amit, 2004) menyatakan bahwa siswa dapat mengkomunikasikan penjelasan-penjelasan mereka tentang strategi matematika atau solusi dalam bermacam cara, yaitu secara simbolis (numerik dan/atau simbol aljabar), secara verbal, dalam diagram, grafik, atau dengan tabel data.
Lesh, Post dan Behr (dalam Hwang, Chen, Dung, & Yang, 2007) membagi representasi yang digunakan dalam pendidikan matematika dalam lima jenis, meliputi representasi objek dunia nyata, representasi konkret, representasi simbol aritmetika, representasi bahasa lisan atau verbal dan representasi gambar atau grafik. Di antara kelima representasi tersebut, tiga yang terakhir lebih abstrak dan merupakan tingkat representasi yang lebih tinggi dalam memecahkan masalah matematika. Kemampuan representasi bahasa atau verbal adalah kemampuan menerjemahkan sifat-sifat yang diselidiki dan hubungannya dalam masalah matematika ke dalam representasi verbal atau bahasa. Kemampuan representasi gambar atau grafik adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematik ke dalam gambar atau grafik. Sedangkan kemampuan representasi simbol aritmatika adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematika ke dalam representasi rumus aritmatika.

CONTOH SOAL REPRESENTASI
Biaya percakapan dengan menggunakan Simpati PeDe diperlihatkan pada diagram di bawah ini. Gunakan informasi dari diagram tersebut untuk menentukan berapa biaya percakapan untuk pembicaraan selama 10 menit
Biaya (Rp)
0 1 2 3 4 5


1620
1590
1560
1530
1500


Waktu (menit)






Untuk menyelesaikan soal tersebut siswa dapat menggunakan berbagai representasi, misalnya menggunakan grafik dengan memperpanjang garisnya, atau menggunakan tabel data dan dapat pula menyatakannya dengan persamaan (simbolik), ataupun dengan menggunakan representasi verbal.

DAFTAR PUSTAKA

Ainsworth S, Labeke V.N., & Peevers G. (2001). Learning with Multiple Representations. [on-line]. Available: http://www. psychology.nottingham. ac.uk./ staff/Shaaron,Ainsworth.hmtl [3 Maret 2008].
Cai, Lane, Jacabcsin (1996), “Assesing Students’ mathematical communication”. Official Journal of Science and Mathematics. 96(5)

Elia, Iliada. (2007). Multiple representations in mathematical problem solving: Exploring sex differences. [on-line]. Available: http://www. prema.iacm. forth.gr docs/ws1/papers/Iliada%20Elia.pdf. [10 November 2007]

Gagatsis, Athanasios A Review of The Research on The Role of External Representations on Understanding And Learning Mathematics And Problem Solving. [on-line]. Available: http://www ........................[18 Desember 2007].

Goldin, G. A. (2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving. In L.D English (Ed) International Research in Mathematical Education IRME, 197-218. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Hudoyo, H (2002). Representasi Belajar Berbasis Masalah. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. ISSN: 085-7792. Tahun viii, edisi khusus.

Hwang, W.-Y., Chen, N.-S., Dung, J.-J., & Yang, Y.-L. (2007). Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212.

Jones, A.D. (2000). The Fifth Process Standart:An Argument to Include Representation in Standards 2000. [on-line]. Available: http://www. math.umd.edu/~dac/650/ jonespaper.hmtl [10 Desember 2007].

Jones, B.F., & Knuth, R.A. (1991). What does research ay about mathematics? [on-line]. Available: http://www. ncrl.org/sdrs/areas/stw_esys/2math.html. [12 Februari 2008].

Kaput, JJ dan Goldin, G. A. (2004). A Join Persepective on the Idea of Representation in Learning and Doing Mathematics. [on-line]. Available: http://www. simlac.usmassad.edu. [18 Desember 2007].


Ludlow, A.S. (2001). The Object-process Duality of Representation: A peircean Perspective. In H. Hitt (Ed). Working Group on Representation and Mathematics visualization (1998 – 2001). [on-line]. Available: http://www. matedu.cinvestav.mx/Adalira.pdf [10 November 2007].

Luitel, B.C. (2001). Multiple Representations of Mathematical Learning. [on-line]. Available: http://www. matedu.cinvestav.mx/adalira.pdf [18 Desember 2007].

National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston. VA: NCTM.

Neria, Dorit & Amit, Miriam. (2004). Students Preference Of Non-Algebraic Representations In Mathematical Communication. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education Vol. 3, pp. 409 - 416